Banda Naira tidak besar. Bisa dijelajahi dengan berjalan kaki selama 3 jam. Jalan aspal menghubungkan seluruh Pulau. Kendaraan roda empat bisa dihitung dengan jari. Selain kendaraan dinas milik pemerintah dan polisi, tidak ada warga yang memiliki mobil.
"Mau ke mana pakai mobil? Di sini selain dinas, tidak ada yang pakai mobil. Naik sepeda, pakai ojek atau jalan kaki saja," ujar Zainuddin, seorang warga Banda Naira saat berbincang dengan detikcom, Kamis (30/7/2010).
Pulau kecil ini juga menyimpan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan seperti Muhammad Hatta dan Sjahrir pernah diasingkan di Banda Naira. Rumah bekas peninggalan mereka pun masih terpelihara dan dijadikan museum. Siapa saja bisa belajar sejarah di sini.
Berjalan kaki sekitar 15 menit ke arah Barat, Benteng Belgica berdiri kokoh. Lengkap dengan meriam-meriamnya yang mengarah ke laut. Kondisi benteng masih sangat baik. Pengunjung bisa naik ke atas menara benteng dan melihat laut lepas dan Pulau Banda Naira dari atas benteng yang dibangun pada abad ke-17 ini.
Jika hari sudah beranjak senja, berjalanlah ke arah dermaga. Matahari perlahan tenggelam, meninggalkan semburat warna yang menawan di langit luas beralaskan laut.
Untuk mencapai Banda Naira, ada kapal feri yang berangkat setiap dua minggu sekali dari pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Selain itu bisa juga dicapai lewat Ambon dengan kapal cepat. Kini ada penerbangan yang melayani rute Ambon-Banda Naira, satu minggu sekali.
Urusan penginapan, ada beberapa alternatif. Hotel rata-rata bertarif Rp 300-400 ribu permalam. Tapi jika ingin hemat, ada beberapa losmen nyaman yang tarif permalamnya hanya Rp 100 ribu.
Untuk makanan, harganya memang lebih tinggi dari Pulau Jawa. Sekali makan bisa habis Rp 20 sampai 30 ribu. Wajar saja, biaya mengirimkan bahan makanan ke sini memang tidak murah. Tapi jika sudah jauh-jauh ke sini, sirup pala dan ikan bakar, jangan sampai dilewatkan.
Saat Sail Banda 2010, pulau kecil ini kembali menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dari seluruh dunia. Namun kini tidak ada meriam yang mengarah ke pantai. Atau persaingan menguasai rempah-rempah di Maluku. Hanya tersisa jabat tangan dan senyum persaudaraan dari seluruh dunia di Banda Naira.
Read more: http://siradel.blogspot.com/2010/07/banda-naira-surga-kecil-di-timur.html