Minggu, 26 Desember 2010

Pahlawanku, Riwayatmu kini (mengenaskan)


Metrotvnews.com, Lamongan: Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Begitulah kata Bung Karno, bapak proklamator sekaligus presiden pertama RI. Namun, apa yang telah terjadi kini. Bahkan, pada Hari Pahlawan yang jatuh pada Sabtu (10/11) 2007. Setelah 62 tahun Indonesia merdeka, tak sedikit para vetaran perang kemerdekaan yang hidup menderita.



Sebut saja Silam. Lelaki tua yang tinggal di Desa Pelang, Kecamatan Kembangbahu, Lamongan Jawa Timur, menjadi tukang sapu di gereja dan Balai Desa Pelang. Untuk itu, ia mendapatkan upah sebesar Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu per bulan. Tak banyak memang. Namun, bisa untuk tambahan uang pensiunnya sebesar Rp 600 ribu per bulan.

Meski demikian, Silam cukup bangga dengan apa yang dilakukannya. Pada usianya yang menjelang satu abad, ia tetap tidak membebani orang lain. Silam hanyalah satu potret para veteran yang tidak mengharapkan penghargaan untuk perjuangan mereka meski di masa lalu telah mempertaruhkan nyawa untuk kemerdekaan.



Liputan6.com, Jambi: Bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya. Mungkin pemeo ini kurang melekat di negeri ini. Parahnya lagi para pejuang yang telah berkorban dengan keringat dan darah seolah terlupakan. Kehidupan ratusan veteran perang di sejumlah daerah sungguh memprihatinkan.

Kopral Gunawan mungkin dapat menjadi contoh potret buram itu. Di tengah kemeriahan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan ke-62 Republik Indonesia bekas pejuang ini terlupakan. Kini di usia 80 tahun, Gunawan harus bekerja sebagai sopir alat berat di Jambi.

Sewaktu muda dia berjuang di kesatuan kompi Merdeka Resimen Sumatera era 1948. Gunawan menjadi teknisi berbagai alat perang untuk mengusir penjajah Belanda yang membonceng NICA (Netherland Indie Civil Administration) dari daratan Sumatra bagian Tengah.

Meski sejumlah dokumen menyatakan pejuang, Gunawan tetap tak dapat mencicipi dana pensiun veteran. Dilupakan negara tidak menyurutkan hidupnya. Gunawan juga tak mau berpangku tangan. Dia bertekad terus berjuang seumur hidup untuk membangun negeri ini.



Liputan6.com, Solo: Nasib para pejuang kemerdekaan ternyata tak selalu memperoleh penghargaan dan penghidupan yang layak. Seperti yang dialami Samsuri. Veteran kemerdekaan yang sudah berusia 91 tahun ini terpaksa harus mengetuk pintu-pintu kantor untuk menyambung hidup.

Meski sudah tua, langkah Samsuri terlihat masih tegap. Sikap dan atributnya masih sama seperti saat dia aktif sebagai pejuang di front Ambarawa, Jawa Tengah. Namun, dia kini tak lagi memanggul senjata. Pria tua ini kemana-mana membawa sejumlah barang dagangan, seperti permen jahe dan jamu-jamuan. Dia terpaksa mengumpulkan rupiah demi rupiah karena tunjangan pensiunnya tak seberapa."Belum lagi dipotong untuk bank," kata Samsuri.

Namun, Samsuri masih memiliki patriotisme. Dengan caranya sendiri dia mengingatkan arti perjuangan kemerdekaan 62 tahun silam. Inilah jalan hidup Samsuri setelah melawan penjajah. Kini dia harus melawan kebutuhan perut dan usia yang terus merayap secara pasti.

Sementara itu, sekelompok warga Jakarta yang ingin menyelami lagi kegiatan para pejuang melakukan acara napak tilas. Kegiatan dimulai dengan perjalanan mobil buick. Mobil keluaran tahun 1939 itu pernah menjadi mobil Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Karena itu penumpangnya pun berdandan ala Bung Karno dan Bung Hatta.

Peserta lain, termasuk para veteran dan pelajar bergaya seperti pejuang kemerdekaan. Dengan mengendarai sepeda ontel mereka menyusuri Jalan Menteng Raya menuju Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Bagi para veteran, napak tilas menjadi momentum untuk meningkatkan semangat nasionalis para generasi muda. Apabila para pejuang dahulu tidak meraih kemerdekaan tentu kini generasi muda harus berjuang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Idonesia.



Liputan6.com, Makassar: Hidup adalah perjuangan. Setidaknya inilah yang dirasakan Andi Djemma, seorang veteran perang kemerdekaan RI. Pada masa penjajahan, Andi dan rekan-rekannya bertaruh nyawa merebut kemerdekaan. Kini setelah 61 tahun sejak Soekarno membacakan teks proklamasi, Andi tetap harus berjuang melawan kemiskinan dan penggusuran. "Tidak dihargai veteran!" kata Andi di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (17/8).

Andi adalah Wakil Ketua Legiun Veteran Cabang Kota Makassar. Dua tahun silam, Andi dan rekan-rekannya sesama veteran harus digusur dari rumahnya yang ditempati sejak 1947. Setelah rumah mereka dibongkar, kini Andi Jemma bersama sekitar 20 anggota veteran lainnya terpaksa tinggal di tanah wakaf Pemerintah Kota Makassar. Di atas tanah bekas rawa itulah Andi dan rekan-rekannya menghabiskan masa tua. "Saya tidak cerita yang tidak benar, saya dosa [jika bohong]," kata Andi yang masih lantang walau giginya tinggal beberapa.

Di balik balutan kulitnya yang telah keriput, patriotisme Andi masih berkobar. Mengenakan baju beserta atribut veteran, Andi merayakan Agustusan bersama warga lain. Rumahnya yang terbuat dari seng pun tak ketinggalan dengan hiasan bendera Merah Putih.

Andi boleh jadi cuma salah satu sempalan warga Indonesia yang masih terjajah kemiskinan. Masih banyak warga lain yang kurang beruntung seperti dia. Bahkan di Jakarta yang notabene pusat pemerintahan, kemerdekaan tak bisa dinikmati seratus persen oleh warga Ibu Kota. Ini dialami Maryati dan Suwarna. Bersama orang tua tak mampu lainnya, mereka hanya sanggup "menyekolahkan" anaknya di Kelompok Belajar Sekar Bangsa di Kampung Marlina, Muara Baru, Jakarta Utara.

Jeratan persoalan ekonomi juga membuat Suwarna tak sanggup menyekolahkan anak bungsunya. Seorang anaknya yang sudah lulus sekolah menengah atas juga tak bisa bekerja karena ijazahnya belum diambil.

Merdeka dari belenggu ekonomi pula yang diinginkan Daeng Soreh. Pencari rajungan ini tak satu pun dari tujuh anaknya yang lulus sekolah.

Nasib Maemunah kurang lebih sama. Tiap Agustus, dia hanya bisa mengenang rumahnya di Jembatan Besi, Jakarta Utara. Rumah yang dia beli Rp 5 juta itu digusur untuk proyek pembangunan pusat perbelanjaan. Kini, dia melanjutkan hidup dengan mengontrak rumah.



Liputan6.com, Jakarta: Perayaan Hari Ulang Tahun ke-61 RI menjadi hari yang ditunggu khususnya bagi sejumlah veteran perang. Di hari itu mereka rutin menerima santunan dari dermawan. Seorang di antara mereka adalah Syarifudin. Dengan sebelah kaki akibat terkena pecahan mortir saat agresi Belanda, Syarifudin bersusah payah mendatangi acara yang digelar untuk veteran itu di Jakarta, baru-baru ini.

Tak sia-sia, veteran perang berusia 77 tahun itu mendapat sebuah bingkisan berisi mi instan, beras, dan minyak goreng. Ketika hendak pulang, SCTV menawarkan tumpangan bagi Syarifudin untuk diantarkan ke rumahnya di kawasan Cakung, Jakarta Timur.

Sesampainya di rumah, dengan suka cita bingkisan itu diberikan kepada istri tercinta. Bantuan itu terasa sangat berharga mengingat sebagai veteran, Syarifudin cuma mendapat tunjangan Rp 20 ribu per bulan. Jumlah ini tidak cukup, bahkan untuk menutup sewa kontrakan sekali pun.

Syarifudin hanyalah seorang dari ribuan veteran yang menjadi bagian masa silam. Hingga kini dia tak pernah mengecap hidup cukup layak. "Kalo cacatnya berat, [mendapat] sejuta," ujar Syarifudin.

Kondisi lebih baik dialami Palewangi. Mantan anggota Laskar Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi ini sebulan mendapat Rp 500 ribu. Tapi ia masih harus mencari tambahan dengan cara menggarap ladangnya



Liputan6.com, Jombang: Kemerdekaan bangsa Indonesia yang genap 60 tahun ternyata belum dirasakan sepenuhnya oleh Mardan, 77 tahun, veteran perang di Jombang, Jawa Timur. Kesulitan ekonomi terus menderanya karena uang pensiun tidak juga didapat. Untuk menyambung hidup, Mardan sempat menjadi pengayuh becak. Kini di usia tuanya, Mardan menghidupi keluarganya dengan membuat kerajinan seni dari bahan bambu

Baru-baru ini, SCTV berkunjung ke rumah Mardan. Tidak terlalu sulit mencari rumah veteran yang menjadi saksi mata perobekan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya ini. Ia tinggal di Desa Mancilan, Kecamatan Mojoagung. Di rumah berdinding bambu yang sudah lapuk, Mardan tinggal bersama istrinya, Sutami.

Untuk menyambung hidup, Mardan sempat menjadi pengayuh becak selama 30 tahun. Profesi ini digeluti hingga 1988. Saat fisiknya tidak kuat lagi, becak ditinggalkan. Sebenarnya, bisa saja Mardan menggantungkan hidup kepada anak-anaknya. Namun, Mardan lebih memilih membiayai dirinya dan istri dengan melukis, membuat kuda lumping dan kerajinan lain.

Hasil yang didapat tentu saja tidak seberapa. Lukisan yang dibuatnya hanya dapat dijual seharga Rp 25 ribu per buah. Untuk menambah penghasilan, Mardan juga membuat kipas anyaman meski tidak terlalu laku dijual.

Sepertinya, perjuangan tidak pernah berakhir untuk Mardan. Tetapi anggota Laskar Perjuangan Indonesia ini bukan berjuang untuk kemerdekaan sebuah negeri bernama Indonesia melainkan berjuang untuk mendapatkan haknya. Hak mendapatkan pensiun, sebagai bentuk penghargaan pemerintah dan negara untuk pejuang yang pernah menggadaikan nyawanya untuk sebuah kemerdekaan. Ironis, permohonan uang pensiun yang diajukan sejak 1993 hingga kini belum juga dikabulkan. "Katanya tinggal SK (surat keputusan). Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda," tutur Mardan.



Jakarta - Veteran pejuang kemerdekaan Indonesia meminta perhatian dari pemerintah mengenai tunjangan veteran (tuvet) yang mereka terima. Tunjangan yang mereka dapatkan selama ini bahkan jumlahnya lebih kecil dari upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta. "Guru SD saja Rp 1,7 juta (tunjangannya-red). Veteran pejuang kemerdekaan hanya dikasih Rp 600 ribu. Padahal UMP saja sudah Rp 820 ribu.

Ini kan melecahkan," keluh mantan pejuang Trikora dan Dwikora, Wimo Sumanto, di Tugu Proklamasi, Jl Proklamasi, Jakarta Pusat, Minggu (17/8/2008). Wimo hadir di Tugu Proklamasi beserta puluhan veteran lainnya untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-63. Wino datang mengenakan pakaian dinas warna hijau lengkap dengan lencana serta penghargaan yang pernah diterimanya selama bertugas.

Menurut pria yang telah berumur 79 tahun ini, mereka menyayangkan apresiasi dari pemerintah yang tidak sepadan dengan perjuangan yang telah diberikan untuk bangsa ini. Lebih lanjut Wino menjelaskan kalau kejadian seperti ini selayaknya tidak terjadi lagi di era kemerdekaan. "Kemerdekaan itu benang emas. Harusnya untuk menuju rakyat dan bangsa Indonesia punya hidup yang lebih baik," tegasnya. Wino kemudian menimpakan kesalahan kondisi ini terhadap para koruptor yang dinilainya semakin merajalela. "Koruptor-koruptor merajalela dan merusak ekonomi rakyat. Kehidupan rakyat itu dalam keadaaan yang prihatin sekali. Sengsara akibat ratusan triliun dikorupsi," pungkasnya.



SUDAH 63 tahun Indonesia merdeka yang diperoleh dengan penuh pengorbanan harta, darah dan air mata, bahkan nyawa pun dikorbankan para pejuang. Tetapi sangat disesalkan nasib para veteran di Kabupaten Padanglawas semakin dipinggirkan.

Demikian ungkap sejumlah anggota veteran di Kecamatan Barumun, Kabupaten Padanglawas kepada Waspada, Senin (18/8) usai menghadiri Upacara peringatan HUT ke-63 kemerdekaan RI di Lapangan MTs N Sibuhuan.

H. Paet Lubis, 83, anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Ranting Barumun mengatakan, sedih melihat nasib para veteran pejuang kemerdekaan saat ini yang semakin dipinggirkan dan diabaikan.

Sebagai pejuang yang ikut menaikkan Merah Putih di Sibuhuan, dan sebagai Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) serta aktif sebagai militer Republik Indonesia sejak pendudukan Jepang 1942 ini mengatakan, dari tahun ke tahun perhatian dan penghargaan pemerintah kepada pejuang/ veteran semakin menipis.

"Saya benar-benar sedih melihat nasib pejuang dan veteran saat ini. Dalam sisa hidupnya semakin memprihatinkan, lebih sedih lagi melihat pemimpin-pemimpin bangsa yang hidup dan menikmati kemerdekaan ini di atas tengkorak-tengkorak para pejuang yang telah mengorbannya nyawanya untuk mencapai kemerdekaan," katanya.

Seiring dengan dilaksanakannya Pilkada Padanglawas Oktober nanti, diharapkan muncul pemimpin yang benar-benar punya perhatian terhadap orang tua dan veteran Padanglawas.

Hal senada juga disampaikan Abdullah Sani Nasution, 81, Ketua Ranting LVRI Sibuhuan, Kecamatan Barumun. Sejak beberapa tahun belakangan perhatian dan penghargaan pemerintah terhadap para pejuang kemerdekaan semakin tipis.

"Kita menghargai mantan Camat Barumun, Basyrah Lubis, SH yang semasa kepemimpinannya memperhatikan nasib para Veteran. Setiap tahun usai upacara selalu menjamu para veteran, sekaligus memberi penghargaan," katanya.

Dikatakan, saat ini di Kecamatan Barumun, hanya 13 lagi veteran yang masih hidup, itupun sudah tua renta dan sakit-sakitan. Kini hanya lima orang yang ikut menghadiri peringatan HUT ke-63 RI, termasuk Abdullah Sani, 81, H. Paet Lubis, 83, Muhammad Nuh Hasibuan, 82, Palit Harahap, 78 dan Usman Silalahi, 81.

Sementara yang tidak ikut menghadiri upacara Yahya Harahap, 81, Herman Hasibuan, 80, Marsidin, 80, H. Nukman, 80, H. Baharuddin, 80, H. Mukhtar, 78, Sitiroin, 80 dan Hj. Siti Hawa, 83.

Veteran pejuang kemerdekaan ini berharap akan muncul pemimpin Padanglawas yang mempunyai hati nurani dan menghargai pejuang kemerdekaan.

H. Syahwil Nasution, anggota DPRD Kabupaten Palas, melihat para veteran teringat almarhum orang tuanya yang juga veteran. Ia juga berharap ke depan pemerintah dan pemimpin-pemimpin bangsa ini akan lebih memperhatian nasib para veteran yang telah banyak berjasa dalam memperjuangkan negeri ini dari belenggu penjajah.

Sumber= http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3648469