Hasil penelitian tersebut dikemukakan Ramona Flatz dari Arizona State University dalam publikasinya di jurnal online PLoS ONE yang terbit tanggal 8 November 2010. Penelitian Flatz dimulai ketika melakukan percobaan di dua lokasi di Teluk California, yaitu di perairan sekitar Pulau San Jorge dan Pulau Los Islotes.
Dalam penelitiannya, ia mengambil sampel DNA dari sejumlah pasangan induk singa laut dan bayi yang diasuhnya. Ia kemudian membandingkan hasil analisis DNA antara induk dan bayinya.
Hasilnya, sebanyak 6 dari 109 pasangan induk-bayi di Pulau San Jorge memiliki materi genetik yang tidak identik. Sementara itu, 9 dari 51 pasangan induk dan bayi di Pulau Los Islotes juga mengalami hal serupa.
Berdasarkan hasil tersebut, Flatz menyimpulkan bahwa pada pasangan induk-bayi yang materi genetiknya tidak identik, induk bayi sebenarnya telah melakukan perilaku adopsi. Bayi-bayi yang diadopsi mungkin terpisah dari induk aslinya atau kehilangan induknya saat masih butuh pengasuhan.
Sebenarnya, ada perilaku mengasuh lain juga di dalam dunia singa laut yang disebut alloparenting. Perilaku itu merujuk pada pengasuhan bayi sementara oleh induk lain.
Meski demikian, Flatz yakin bahwa hasil penelitiannya merupakan perilaku adopsi sebab induk-induk yang dia temukan telah mengasuh bayi-bayi singa laut itu dalam jangka waktu lama.
"Ini semua adalah perilaku adopsi. Fakta yang kami ketahui adalah, semua induk ini mengasuh satu bayi saja dan bayi singa laut itu bukan bayi yang dia lahirkan," ungkap Flatz.
Perilaku adopsi ini adalah perilaku yang jarang ditemukan pada hewan, apalagi pada singa laut. Flatz mengatakan, perilaku ini sangat membantu kelangsungan hidup dan populasi singa laut dalam jangka panjang.
source: http://sains.kompas.com/read/2010/11/16/19163677/Singa.Laut.Saja.Peduli.Yatim.Piatu