Awal mulanya kelenteng ini disebut Guan Yin Ting (Kwan Im Teng) atau disebut dengan Paviliun Guan Yin. Tahun 1740 kelenteng yang dipersembahkan untuk Dewi Koan-Im (Dewi Welas Asih) ini turut dirusak dalam peristiwa pembantaian terbesar etnis Tionghoa dalam sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia.
Peristiwa yang terjadi pada 9-12 Oktober 1740 dan menelan korban 10.000 jiwa tersebut dikenal dengan Tragedi Pembantaian Angke. "Ada meja tua yang memang sudah ada dari awal mulai pembangunan kelenteng ini. Meja tersebut merupakan saksi bisu dari perusakan pada tahun 1740," Kata pengurus Kelenteng Jin De Yuan, Yu Ie (35).
Asal istilah kelenteng diperkirakan berasal dari Jin De Yuan ini. Konon etnis Tionghoa yang berasal dari suku Hokkian bertanya lokasi wihara ini dengan bertanya kepada orang asli Betawi kota. "Ketika orang Betawi bertanya 'Cim, mau ke mana?' Lantas dijawab 'Ke Kuan Im teng'. Mereka mendengarkan seperti kata 'ke len teng'," Yu Ie bercerita. Mulai dari sinilah akhirnya masyarakat sekitar mengenalnya sebagai kelenteng.
Di ruang tengah kelenteng terdapat banyak patung yang berasal dari sebelum tahun 1740. Dalam gedung samping kiri terdapat kamar-kamar para rahib. Nama mereka tertulis pada lempeng batu. Di dalam kamar pertama terpasang altar paling tua dari seluruh isi kelenteng. Kelenteng Jin De Yuan ini juga terdapat sebuah lonceng buatan tahun 1825 di pojok kanan halaman belakang yang merupakan lonceng tertua di Jakarta. (Laras Pratiwi)
source