Burung Maleo adalah burung endemik (hanya hidup secara alami di suatu kawasan) di Pulau Sulawesi, tepatnya di Kabupaten Donggala (Desa Pakuli dan sekitarnya) dan Kabupatren Luwuk Banggai, Sulawesi Sulawesi Tengah.
Nama ilmiah burung maleo adalah Macrocephalon yang berarti kepala besar. Burung Maleo memiliki tonjolan besar di atas kepala. Dan karena tonjolannya itu Maleo bisa mendeteksi panas bumi untuk menetaskan telurnya.
Ngomong-ngomong soal telur burung maleo, konon setelah burung ini bertelur, ia langsung pingsan! Lucu kan? Mengapa begitu?
Karena ternyata burung Maleo memiliki telur yang besar, kira-kira 5 kali lebih besar dari telur ayam kampung. Bisakah kamu bayangkan, betapa besarnya telur burung ini?
Jumlah burung maleo sekarang ini diperkirakan kurang dari 10 ribu ekor. Dan akhirnya satwa ini dinyatakan sebagai satwa yang dilindungi karena para pemburu liar sering sekali mengambil telur-telur Maleo seenaknya.
Akhirnya, Pemerintah membuat pantai khusus untuk konservasi atau penyelamatan maleo seluas 14 hektar yang terletak di Tanjung Binerean, Sulawesi Utara.
Perjuangan Seekor Anak maleo
Lucu dan imut, itulah kesan pertama kali saat melihat anak maleo yang baru menetas. Namun hal yang lebih mengesankan dan membuat terkagum-kagum adalah saat melihat proses si anak maleo keluar dari dalam tanah setelah melewati masa "pengeraman".
Rasa kagum itu semakin bertambah begitu melihat si anak maleo yang baru saja mencapai permukaan tanah tersebut ternyata sudah bisa terbang.
Ya, terbang. Tak seperti layaknya anak unggas pada umumnya yang butuh waktu berminggu-minggu untuk bisa terbang. Begitulah keistimewaan anak maleo.
Namun siapa sangka, di balik kelucuan dan istimewaannya, si anak maleo ternyata memikul beban yang begitu berat nyaris setelah ditetaskan.
Tanpa kehadiran sang induk saat matanya pertama kali melihat dunia ini, tanpa bimbingan sang induk untuk mencari makan dan terbang, tanpa perlindungan sang induk di saat bahaya menghampiri, bahkan, untuk keluar dari cangkang dan muncul ke permukaan bumi ini pun mereka harus berjuang sendiri.
Tak jarang diantara mereka dijumpai mati saat dalam "perjalanan" mencapai permukaan tanah, terkadang mereka dijumpai dengan kepala yang sudah nongol di permukaan tanah, tapi sudah mati dikerumuni semut.
Terkadang pula mereka dijumpai berhasil mencapai permukaan tanah namun sudah tanpa kepala di badan. Paling tidak, begitulah sedikit gambaran penderitaan dan perjuangan yang harus dilalui oleh anak maleo.
Setelah maleo betina meletakkan telurnya di dalam lubang, maka secara bergantian atau bersamaan kedua induk maleo (jantan dan betina) menimbun telur tersebut dan kemudian membuat timbunan tipuan (untuk mengelabui pemangsa).
Berbeda dengan jenis-jenis unggas lainnya, Maleo tidak mengerami telurnya. Pengeraman telur dibantu oleh panas bumi atau panas dari sinar matahari.
Keberhasilan penetasan akan sangat bergantung pada temperatur/suhu tanah. Hasil-hasil penelitian menginformasikan bahwa suhu atau temperatur tanah yang diperlukan untuk menetaskan telur maleo berkisar antara 32-35 derajat celsius.
Lama pengeraman pun membutuhkan waktu sekitar 62-85 hari. Namun pernah juga tercatat ada telur yang menetas kurang atau malah lebih dari kisaran waktu tersebut.
Saat waktu yang tepat tiba, telur pun pecah dan anak maleo akan keluar. Anak maleo yang baru menetas harus keluar sendiri ke permukaan tanah tanpa bantuan sang induk.
Perjuangan untuk mencapai permukaan tanah akan membutuhkan waktu selama kurang lebih 48 jam. Inipun akan tergantung pada jenis tanahnya.
Sehingga tak jarang beberapa anak maleo dijumpai mati "ditengah jalan". Tanah yang terlalu padat, akar-akar pohon yang terlalu rapat, lubang yang di gali terlalu dalam diduga menjadi faktor penyebab si anak maleo kehilangan banyak energi (kelelahan) hingga mengakibatkan kematian sebelum mencapai permukaan tanah.
Lolos dari perjuangan panjang di dalam tanah, begitu kepala si anak maleo muncul ke permukaan, bahaya lain pun sudah menanti. Semut.
Barangkali karena bulu-bulunya yang masih basah (dan bau amis telur) sehingga menarik perhatian semut mendatanginya. Dan tak ada ampun lagi bagi si anak maleo yang kondisi sebagian badannya masih terhimpit tanah, akhirnya pasrah digerogoti semut.
Kematian pun tak bisa terelakkan lagi. Terkadang tubuh lemahnya (setelah melalui perjalanan panjang di dalam tanah) harus dia pasrahkan untuk seekor tikus yang juga sedang menanti buruan. Sudahkah berakhir sampai disitu?
Ternyata belum. Di luar sana masih banyak bahaya menanti.
Soa-soa, adalah sebutan orang Sulawesi Bagian Utara bagi hewan bernama Biawak. Tentunya kita sudah tahu kalau hewan yang satu ini adalah pemangsa utama bagi hewan peliharaan seperti ayam, begitu pula dengan maleo.
Soa-soa adalah musuh utama bagi maleo. Selain mereka memangsa anak maleo, mereka pun adalah predator utama bagi telur maleo (selain manusia).
Karena kemampuan penciuman mereka yang sangat tajam sehingga dengan mudah mereka menemukan telur maleo yang sudah tertimbun tanah sekalipun.
Bahaya lainnya datang dari burung pemangsa (seperti Elang). Lokasi peneluran maleo yang sebagian besar merupakan daerah terbuka, sangat memudahkan bagi burung elang untuk mengintai mangsanya. Anak maleo yang masih lemah pun menjadi sasaran empuk mereka.
Belum lagi bahaya dari ular, atau bahkan manusia. Hmm, sepertinya perjalanan si anak maleo menuju kedewasaan menghadapi perjuangan yang sangat berat. Tapi bukankah Tuhan telah menciptakan mahluknya dengan keistimewaannya masing-masing?