Amerika Serikat sebenarnya memiliki pesawat tempur andalan bernama F-22 Raptor. Pesawat tempur supermanuver dengan twin engine generasi kelima ini direncanakan menjadi pesawat tempur superior, tetapi juga dilengkapi dengan kemampuan tambahan, seperti serangan darat, perang elektronik, dan signal inteligence.
Pesawat ini dirancang untuk mampu membawa peluru kendali (rudal) dalam badan pesawat sehingga tak terdeteksi musuh. Selain itu, pesawat ini juga bisa membawa bom seperti Joint Direct Attack Munition (JDAM) dan Small-Diameter Bomb (SDB) serta tak mampu dideteksi radar. F-22 dikembangkan oleh Lockheed Martin yang bermitra dengan Boeing.
Kepala Staf Angkatan Udara Amerika Serikat Jenderal Norton Schwartz dalam pertemuan tanggal 17 Maret 2011 lalu mengatakan bahwa F-22 akan digunakan dalam serangan awal di Libya. Namun, sejak serangan tanggal 19 Maret 2011 lalu, pesawat yang digunakan hanya tiga Northrop Grumman B-2 Spirit, empat Boeing F-15E Eagle, dan delapan Lockheed Martin F-16CJ Fighting Falcon. Lalu, di mana F-22?
Loren Thompson, analis dan kepala operasional di Lexington Institute, mengatakan, "Para desainer F-22 memiliki dilema, apakah memilih konektivitas yang memungkinkan fleksibilitas atau kemampuan radio silence yang bisa mendukung kemampuan pesawat sebagai pesawat siluman. Pilihan itu dilakukan karena adanya keterbatasan jaringan data."
Keterbatasan F-22 adalah ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan pesawat koalisi dan keterbatasan menyerang target darat. F22 cuma mampu berkomunikasi dengan F-22 lainnya lewat intraflight data link. Itu pun hanya sebatas menerima, tidak mentransmisikan data. Thompson mengatakan, sebagai pesawat siluman, F-22 tak memiliki konektivitas yang bisa ditemukan di pesawat tempur lain.
Kelemahan lainnya adalah F-22 hanya dapat menggunakan 1.000 pound JDAM yang digunakan untuk menyerang sasaran diam. Pesawat yang diproduksi sejak tahun 1997 ini juga belum mampu membawa 250 pound SDB atau membuat peta radar berupa gambar hitam putih kualitas tinggi permukaan Bumi yang diperlukan untuk memilih targetnya sendiri di darat.
Sebenarnya, hardware dan software pesawat ini akan di-upgrade menjadi Increment 3.1 tahun ini. Namun, meski upgrade tersebut dilakukan, F-22 hanya akan mampu menetapkan dua target dari delapan buah SDB yang bisa dibawanya. Upgrade tersebut juga tak akan mampu memperbaiki untuk membuat pesawat mampu terhubung dengan pesawat tempur lainnya.
Upgrade selanjutnya, yakni Increment 3.2, sebenarnya direncanakan dengan Multifunction Advanced Data Link (MADL) yang juga ditemukan pada F-35 Joint Strike Fighter. Hanya dengan upgrade tersebut F-22 bisa menetapkan delapan target untuk delapan SDB yang dibawanya.
Sesuai doktrin angkatan udara, F-22 Raptor akan dipergunakan untuk membantu tugas pengebom siluman Spirit B-2 dalam "membuka pintu" untuk menyerang pertahanan udara musuh. Namun, komando US Africa yang menjalankan Operasi Dawn Odyssey di Libya mengonfirmasi bahwa F-22 tak akan terbang dalam penyerangan tersebut.
Mayor Eric Hilliard, juru bicara komando Afrika, mengatakan, "Saya tidak melihat indikasi F-22 akan digunakan untuk membantu misi B-2 ataupun digunakan untuk misi selanjutnya dalam penyerangan Libya." Seperti diketahui, pengebom siluman B-2 Spirit telah digunakan dalam Operasi Fajar Oddysey untuk melumpuhkan Libya.
Selain itu, alasan lain tidak menggunakan Raptor tersebut adalah armada tempur udara Libya yang sebenarnya masih kuno. Padahal, F-22 dirancang untuk menjadi mesin dengan keunggulan udara (air superiority) dalam melawan pesawat lain. Mark Gunzinger dari Center for Strategic and Budgetary Analysis, Washington, mengatakan, "Raptor itu mungkin tak diperlukan. Pertahanan Libya tak sedemikian kuat sehingga bisa dilumpuhkan dengan mudah."
F-22 sendiri merupakan pesawat tempur dengan masa pengembangan yang cukup lama. Prototipe dari pesawat ini diberi nama YF-22, lalu berganti menjadi F/A 22 dan akhirnya disebut F-22. Hingga tahun 2004, sebanyak 51 F-22 telah didistribusikan.
kompas