Beberapa daerah diketahui memiliki beban masalah kesehatan yang berbeda-beda. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kemenkes diketahui 10 peringkat kabupaten/kota dengan indeks pembangunan kesehatan yang baik dan buruk.
Panorama di kota Gianyar, Bali
dr Triono Soendoro, PhD selaku staf ahli menteri kesehatan bidang perlindungan faktor risiko kesehatan dalam acara Pencanangan Kegiatan Riset Operasional Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) dan Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) di Gedung Kemenkes ada 440 kota yang disurvei.
Peringkat 10 kabupaten/kota dengan nilai indeks pembangunan kesehatan teratas dan terbawah adalah:
10 Kabupaten/kota peringkat kesehatan teratas
1. Kota Magelang
2. Gianyar
3. Kota Salatiga
4. Kota Yogyakarta
5. Bantul
6. Sukoharjo
7. Sleman
8. Balikpapan
9. Kota Denpasar
10. Kota Madiun
10 Kabupaten/kota peringkat kesehatan terbawah
431. Mappi
432. Asmat
433. Seram Bagian Timur
434. Yahukimo
435. Nias Selatan
436. Paniai
437. Manggarai
438. Puncak Jaya
439. Gayo Lues
440. Pegunungan Bintang
“Saat diumumkan 10 peringkat terbawah tidak berarti semuanya setuju, ada satu yang protes dan melakukan riset sendiri. Tentu saja hasilnya berbeda karena metodologi yang digunakan berbeda,” ujar dr Triono Soendoro, PhD.
Penetapan peringkat ini berdasarkan nilai Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). IPKM ini adalah indikator komposit yang menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan yang dirumuskan dari data kesehatan berbasis komunitas yaitu Riskesdas (riset kesehatan dasar), PSE (pendataan sosial ekonomi) dan survei podes (potensi desa).
Berdasarkan 3 survei tersebut didapatkan 24 indikator yang masuk dalam IPKM yaitu:
Prevalensi balita gizi buruk dan kurang
Prevalensi balita sangat pendek dan pendek
Prevalensi balita sangat kurus dan kurus
Prevalensi balita gemuk
Prevalensi diare
Prevalensi pnemonia
Prevalensi hipertensi
Prevalensi gangguan mental
Prevalensi asma
Prevalensi penyakit gigi dan mulut
Proporsi perilaku cuci tangan
Proporsi merokok tiap hari
Akses air bersih
Akses sanitasi
Cakupan persalinan oleh nakes
Cakupan pemeriksaan neonatal-1
Cakupan imunisasi lengkap
Cakupan penimbangan balita
Rasio dokter
Rasio bidan
Prevalensi disabilitas
Prevalensi cedera
Prevalensi [enyakit sendi
Prevalensi ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut)
Sementara itu Menkes dr Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DrPH menuturkan program PDBK dan Rifaskes ini merupakan kombinasi antara pemangku kebijakan di tingkat pusat dan propinsi dengan pengamatan peneliti.
“Dengan kombinasi ini diharapkan bisa merumuskan upaya intervensi yang tepat dan efektif sehingga IPKM di daerah tersebut bisa diperbaiki secara bermakna,” ungkap Menkes.
Dalam hal ini daerah yang termasuk peringkat bawah akan dipanggil untuk kumpul bersama dan mencaritahu kenapa hasilnya bisa jelek. Misalnya jika hasil RS dan Puskesmasnya bagus tapi status kesehatannya buruk mungkin karena tidak ada masyarakat yang berkunjung akibat transportasinya yang sulit.
“Hasil dari kedua kegiatan ini akan menjadi masukan guna penyusunan kebijakan pembangunan kesehatan berbasis bukti (evidence base),” ujarnya.
sumber:
health.detik.com
Panorama di kota Gianyar, Bali
dr Triono Soendoro, PhD selaku staf ahli menteri kesehatan bidang perlindungan faktor risiko kesehatan dalam acara Pencanangan Kegiatan Riset Operasional Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) dan Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) di Gedung Kemenkes ada 440 kota yang disurvei.
Peringkat 10 kabupaten/kota dengan nilai indeks pembangunan kesehatan teratas dan terbawah adalah:
10 Kabupaten/kota peringkat kesehatan teratas
1. Kota Magelang
2. Gianyar
3. Kota Salatiga
4. Kota Yogyakarta
5. Bantul
6. Sukoharjo
7. Sleman
8. Balikpapan
9. Kota Denpasar
10. Kota Madiun
10 Kabupaten/kota peringkat kesehatan terbawah
431. Mappi
432. Asmat
433. Seram Bagian Timur
434. Yahukimo
435. Nias Selatan
436. Paniai
437. Manggarai
438. Puncak Jaya
439. Gayo Lues
440. Pegunungan Bintang
“Saat diumumkan 10 peringkat terbawah tidak berarti semuanya setuju, ada satu yang protes dan melakukan riset sendiri. Tentu saja hasilnya berbeda karena metodologi yang digunakan berbeda,” ujar dr Triono Soendoro, PhD.
Penetapan peringkat ini berdasarkan nilai Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). IPKM ini adalah indikator komposit yang menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan yang dirumuskan dari data kesehatan berbasis komunitas yaitu Riskesdas (riset kesehatan dasar), PSE (pendataan sosial ekonomi) dan survei podes (potensi desa).
Berdasarkan 3 survei tersebut didapatkan 24 indikator yang masuk dalam IPKM yaitu:
Prevalensi balita gizi buruk dan kurang
Prevalensi balita sangat pendek dan pendek
Prevalensi balita sangat kurus dan kurus
Prevalensi balita gemuk
Prevalensi diare
Prevalensi pnemonia
Prevalensi hipertensi
Prevalensi gangguan mental
Prevalensi asma
Prevalensi penyakit gigi dan mulut
Proporsi perilaku cuci tangan
Proporsi merokok tiap hari
Akses air bersih
Akses sanitasi
Cakupan persalinan oleh nakes
Cakupan pemeriksaan neonatal-1
Cakupan imunisasi lengkap
Cakupan penimbangan balita
Rasio dokter
Rasio bidan
Prevalensi disabilitas
Prevalensi cedera
Prevalensi [enyakit sendi
Prevalensi ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut)
Sementara itu Menkes dr Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DrPH menuturkan program PDBK dan Rifaskes ini merupakan kombinasi antara pemangku kebijakan di tingkat pusat dan propinsi dengan pengamatan peneliti.
“Dengan kombinasi ini diharapkan bisa merumuskan upaya intervensi yang tepat dan efektif sehingga IPKM di daerah tersebut bisa diperbaiki secara bermakna,” ungkap Menkes.
Dalam hal ini daerah yang termasuk peringkat bawah akan dipanggil untuk kumpul bersama dan mencaritahu kenapa hasilnya bisa jelek. Misalnya jika hasil RS dan Puskesmasnya bagus tapi status kesehatannya buruk mungkin karena tidak ada masyarakat yang berkunjung akibat transportasinya yang sulit.
“Hasil dari kedua kegiatan ini akan menjadi masukan guna penyusunan kebijakan pembangunan kesehatan berbasis bukti (evidence base),” ujarnya.
sumber:
health.detik.com